Rabu, 15 Desember 2010

Dispersi Tingkat Penganggurandi Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

Upaya perubahan struktural untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan kesempatan kerja sebagai usaha peningkatankesejahteraan penduduk seringkali tidak dapat menjangkau seluruh elemen penduduk itu sendiri. Kesempatan dan peluang yang dimiliki tiap penduduk tentu berbeda satu dengan lainnya. Demikian pula dalam proses pembangunan, masalah-masalah seperti kemiskinan dan pengangguran merupakan ekses negatif dari pelaksanaan pembangunan seperti juga terciptanya kesenjangan sosial. Masalah pengangguran umumnya lebih banyak dicirikan oleh daerah perkotaan sebagai efek dari industrialisasi. Pengangguran terjadi sebagai akibat dari tidak sempurnanya pasar tenaga kerja, atau tidak mampunya pasar tenaga kerja dalam menyerap tenaga kerja yang ada. Akibatnya timbul sejumlah pekerja yang tidak diberdayakan dalam kegiatan perekonomian. Ini merupakan akibat tidak langsung dari supply (penawaran) tenaga kerja di pasar tenaga kerja melebihi demand (permintaan) tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang tercipta.
Jumlah pengangguran di tahun 2008 menunjukkan jumlah pengangguran terbuka mencapai 8,4 persen dari keseluruhan angkatan kerja nasional, di mana besarnya tingkat pengangguran perempuan mencapai 9,7 persen sedangkan untuk laki-laki mencapai 7,6 persen. Data pengangguran yang mengacu pada Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini sangat boleh jadi masih lebih rendah daripada kenyataan riil yang ada di lapangan. Bisa saja dalam kenyataannya angka pengangguran di Indonesia masih lebih tinggi dari data dan angka resmi itu. Permasalah pengangguran akan menimbulkan dampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik yang pada gilirannya akan memukul balik kestabilan makro-ekonomi3 yang telah dicapai dengan susah payah. Oleh karena itu masalah pengangguran yang dapat menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial dan Politik tersebut merupakan kekhwatiran kita bersama. Dampak negatif dari masalah pengangguran seperti beragamnya tindakan kriminal, anak jalanan, pengemis, prostitusi, perdagangan anak, aborsi, pengamen dan sebagainya sudah menjadi patologi sosial atau kuman penyakit sosial yang menyebar bagaikan virus yang sulit diberantas. Penyakit sosial ini sangat berbahaya dan menghasilkan korban-korban sosial yang tidak ternilai. Menurunnya kualitas sumber daya manusia, tidak dihargainya martabat dan harga diri manusia yang merupakan korban sosial dari penyakit sosial ini sudah sangat merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan yang beradab. Karena itu persoalah pengangguran ini harus secepatnya dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya yang terbaik. Tentunya menghilangkan pengangguran dalam situasi kehidupan ekonomi Bangsa yang sedang morat-marit ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tetapi upaya mengurangi pengangguran bukanlah hal yang mustahil. Cara yang realistis dalam jangka pendek mengurangi pengangguran adalah memberdayakan sektor informal, padat karya dll disamping strategi jangka panjang seperti pemerataan wilayah pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan desentralisasi
















BAB II
PEMBAHASAN

 A. Gambaran Pengangguran di Indonesia (analisis pohon masalah)
Dari analisis pohon masalah di atas memperlihatkan bahwa core problem(inti persoalan) yang menjadi isu utama Bangsa Indonesia adalah pengangguran. Ada beberapa sebab langsung(direct causes) terjadinya pengangguran besar-besaran di Indonesia yakni 1) terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, 2) Kelangkaan Lapangan Kerja, 3) Pemulangan TKI ke Indonesia, 4) Rasionalisasi karyawan dll. Sebab langsung ini pada saat yang sama menjadi akibat dari sebab-sebab yang lain. PHK disebabkan oleh perusahaan bangkrut. Perusahaan bangkrut disebabkan oleh karena kredit macet/tidak mampu mengangsur pinjaman Bank. Kredit macet disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda bangsa ini sejak tahun 1997. Krisis ekonomi disebabkan oleh krisis moneter(melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS). Krisis moneter disebabkan oleh rusaknya ekonomi Indonesia. Kerusakan ekonomi ini disebabkan oleh adanya mental korup, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menggurita dan sistematik pada semua lembaga negara dan swasta. Budaya KKN ini disebabkan oleh pemerintahan yang kotor(tidak bersih). Masih bisa dicari lagi sebab-sebabnya misalnya dekadensi(kemerosotan moral), tidak dihayatinya nilai-nilai agama, lemahnya penegakan hukum dll. Hal yang sama pada fenomena kelangkaan lapangan kerja sebagai penyebab langsung(direct cause) pengangguran. Kelangkaan lapangan kerja disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang rendah.Secara teoritik(perhitungan standar dalam ekonomi), setiap pertumbuhan ekonomi 1% akan menghasilkan penyerapan tenaga kerja baru 400.000 orang. Pertumbuhan ekonomi yang rendah disebabkan oleh lumpuhnya aktivitas ekonomi (bubarnya pabrik-pabrik/perusahaan, lumpuhnya kegiatan eksporimpor, melemahnya daya saing, kehilangan devisa, larinya investor dll).
Lumpuhnya aktivitas ekonomi disebabkan oleh terjadinya krisis moneter, dan krisis moenter disebabkan oleh krisis ekonomi (ditambah lagi dengan krisis politik, moral, sosial ). Krisis ekonomi disebabkan oleh mengguritanya KKN. Fenomena pemulangan TKI sebagai penyebab langsung dari pengangguran juga mengikuti logika sebab-akibat yang ada pada pohon masalah di atas. Ribuan TKI dari Malaysia yang beberapa waktu lalu dipulangkan ke Indonesia menambah jumlah pengangguran yang ada(direct cause/sebab langsung). Ada beberapa sebab yang tak langsung misalnya karena mereka masuk secara illegal dan tidak terdaftar di Kedutaan atau Konsulat RI di negara-negara tujuan TKI, atau keberadaan mereka dirasakan sebagai beban dan ancaman bagi tenaga kerja dalam negeri dll. Lalu sebab seorang TKI masuk secara illegal adalah karena persyaratan menjadi TKI sangat ketat, sulit memasuki negara tujuan karena itu mereka mengambil jalan pintas.
Setelah melihat core problem atau inti masalah dan mencari sebab-sebabnya baik yang langsung maupun tidak langsung, kita mengkaji berbagai efek atau dampak dari pengangguran sebagai masalah utama itu yakni timbulnya berbagai persoalan sosial seperti prostitusi, pengemis, anak jalanan, anak/bayi terlantar, gelandangan, kejahatan-kejahatan sosial/berbagai tindakan kriminal dan sebaginya.

B. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Dengan asumsi jumlah penduduk tetap, maka apabila jumlah angkatan kerjanya meningkat, maka TPAK-nya meningkat. Besarnya TPAK dapat dirumuskan sebagai berikut :

TPAK =   Jumlah Angkatan Kerja
              Jumlah Penduduk Usia Kerja

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya TPAK suatu negara, seperti : faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Sebagai contoh TPAK Amerika relatif  tinggi dibanding Indonesia, karena nilai yang dianut masyarakat lebih menekankan pada materi. Demikian pula faktor budaya seperti emansipasi perempuan dan faktor ekonomi seperti resesi akan berpengaruh terhadap besanya TPAK. Contoh TPAK dari tahun ke tahun dapat dilihat sebagai berikut :
dari gambar di atas dapat kita lihat jumlah angkatan kerjadi Indonesia berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2004, 2005 dan 2006.

C. Profil Angkatan Kerja
1. Menurut Umur
Angkatan kerja yang ada di Indonesia tersebar dari umur 15 tahun sampai 65 tahun atau sampai lebih dari itu. BPS membagi kelompok umur menjadi beberapa kelas dengan interval kelas 5 tahun.

              Tabel Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut
                Kelompok Umur, Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin, 2006
  Sumber : BPS tahun 2006

2. Menurut Jenis Kelamin
Karena faktor-faktor sosial, budaya, dan psikologi maka besarnya TPAK berdasar jenis kelamin ini berbeda. Secara umum jumlah angkatan kerja laki-laki lebih besar dari perempuan, dengan demikian TPAK laki-laki lebih besar dari perempuan. Perbedaan TPAK berdasar jenis kelamin ini juga dapat dianalisis dari maju tidaknya negara. Semakin maju suatu negara, jumlah angkatan kerja perempuan semakin besar, karena di Negara maju tersedia banyak pilihan pekerjaan. Selain itu, pekerjaan di negara-negara maju memberikan gaji yang relatif lebih tinggi, sehingga hal ini menjadi salah satu perangsang bagi tenaga kerja perempuan untuk menawarkan tenaga kerjanya di pasar. Sementara itu di negara berkembang jumlah pekerjaan terbatas, harus diperebutkan dengan pihak laki-laki, sehingga kemungkinan mendapatkan pekerjaan bagi perempuan juga relatif lebih kecil.

3. Menurut Pendidikan
Secara umum jenis dan tingkat pendidikan diasumsikan dapat mewakili kualitas tenaga kerja. Karena dengan pendidikan seseorang akan bertambah ketrampilannya, pengetahuannya, kemandiriannya, dan mampu membentuk kepribadian individu. Hal-hal yang melekat pada diri orang tersebut merupakan modal yang dibutuhkan untuk melaksanakan

         Tabel Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut
         Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan, Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2006
4. Menurut Sektoral
Kegiatan ekonomi dibedakan menjadi tiga sektor, yaitu pertanian (agriculture), manufaktur/pabrikasi, dan jasa. Yang tidak tercakup dalam ketiga sektor diatas, kemudian dimasukkan dalam sektor lain-lain. Besarnya TPAK untuk masing-masing sektor berbeda-beda. Besarnya TPAK pada salah satu sektor menunjukkan bahwa di negara tersebut sektor itu dominan dibanding dengan yang lain. Misalnya, di Indonesia pada tahun 2006, TPAK yang terbesar adalah pertanian (44,47%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani.

   Tabel Persentase Penduduk 15 Tahun ke atas menurut Lapangan Pekerjaan
    Utama Tahun 2006

5. Menurut Wilayah Kota dan Pedesaan
Corak pemukiman penduduk akan menentukan tinggi rendahnya TPAK. Secara umum wilayah dibedakan menjadi 2 yaitu : kota dan desa.





Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Status Pekerjaan Utama
dan Daerah, 2006

D. Tingkat Pengangguran Terbuka
Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur pengangguran adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tingkat pengangguran terbuka umumnya didefinisikan secara konvensional sebagai proporsi angkatan kerja yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Ukuran ini dapat digunakan untuk mengindikasikan seberapa besar penawaran kerja yang tidak dapat terserap dalam pasar kerja di sebuah negara atau wilayah. Dalam sub bab ini, analisis pengangguran terutama berkaitan dengan pengangguran menurut kategori, provinsi, jenis kelamin, pendidikan, kelompok umur, daerah tempat tinggal, dan analisis pengangguran menurut beberapa negara. Secara umum, TPT perempuan selalu lebih tinggi dari pada TPT laki-laki, TPT perempuan tahun 2008 berada pada level 9,7 persen sedangkan TPT laki-laki berkisar antara 7,6 persen.




Tabel Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Jenis Kelamin, 2004-2008

Tabel Tingkat Pengangguran menurut Jenis Kelamin dan kelompok Umur,2006-2008













Gambar Piramida Pengangguran menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2008
Sumber: Sakernas 2008

Pada gambaran menurut kelompok umur, kecenderungannya adalah semakin tinggi umur angkatan kerja semakin rendah pula tingkat penganggurannya. Satu hal menarik yang patut untuk dikaji lebih jauh berkaitan dengan TPT menurut kelompok umur adalah penduduk pada kelompok umur 15-24 tahun merupakan penduduk usia sekolah yang selayaknya melakukan kegiatan pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Dengan perkataan lain, angkatan kerja pada kelompok usia muda ini yang juga merupakan angkatan kerja baru belum siap memasuki dunia kerja. Ada beberapa latar belakang mengapa kelompok usia muda itu ikut terjun ke pasar kerja, antara lain kesulitan ekonomi keluarga sehingga memaksa mereka untuk berhenti sekolah/kuliah dan terpaksa memasuki dunia kerja.
Sebaliknya, sulitnya mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya lapangan pekerjaan serta kurangnya pengalaman dan keahlian menyebabkan mereka ikut terjebak dalam kelompok pengangguran, sehingga menambah akumulasi jumlah penganggur menjadi lebih banyak lagi. Faktor-faktor lainnya ialah kelompok usia muda umumnya masih bersifat idealis termasuk dalam memilih pekerjaan, misalnya sesuai keinginan, keahlian, hobi, standar gaji, dan gengsi. Akibatnya lapangan pekerjaan mereka menjadi terbatas. Selain itu, kelompok usia ini belum memiliki banyak beban tanggungan ekonomi keluarga dan masih ada jaring pengaman ekonomi baginya yaitu keluarga dan masyarakat sosialnya.
Tingkat pengangguran di negara-negara berkembang termasuk Indonesia biasanya terlihat rendah dan cenderung menutupi potret yang lebih penting dalam pasar kerja seperti tingkat upah yang rendah dan keberadaan sektor informal yang jumlahnya sangat besar. Rendahnya tingkat pengangguran di Indonesia utamanya disebabkan karena penduduk khususnya yang beasarl dari rumahtangga miskin akan melakukan pekerjaan apa saja untuk memperoleh pendapatan guna mempertahankan hidup yang disebabkan tiadanya jaminan atau kompensasi bagi penganggur. Untuk itu penduduk terpaksa bekerja dalam kegiatan apapun baik dengan jam kerja yang lebih rendah dari yang diinginkan, kurang dari jam kerja normal atau bekerja purna waktu (full time). Oleh karena itu, tingkat setengah pengangguran tampaknya merupakan indikator yang lebih baik bagi pasar kerja dibandingkan tingkat pengangguran dan merupakan indikator pemanfaatan tenaga kerja (labour utilization) yang lebih realistis di negara berkembang seperti Indonesia1. Berdasarkan Sakerna 2008, tingkat setengah pengangguran di Indonesia terlihat tinggi yaitu mencapai 32,5 persen.
Dilihat berdasarkan jenis kelamin, tingkat setengah pengangguran jauh lebih tinggi untuk perempuan dibanding laki-laki, sedangkan berdasarkan daerah tingkat setengah pengangguran daerah perdesaan tercatat dua kali lipat dari daerah perkotaan (41 persen dibanding 21 persen). Tingginya setengah pengangguran di perdesaan ini tentunya terkait dengan jumlah penduduk miskin yang sebagian besar tinggal di wilayah perdesaan.




Tabel Tingkat Setengah Pengangguran menurut Jenis Kelamin, 2008

E. Cara Mengatasi Pengangguran
Setelah melihat berbagai data tentang pengangguran di atas, cara-cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir jumlah pengangguran di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Membuat Kebijakan Jangka Pendek yang Realistis
a. Pemberdayaan secara ekonomis dan social
Penyadaran melalui pembentukan sikap dan mental harus diikuti dengan pemberdayaan yang lebih bersifat ekonomis dan konkret. Kebutuhan para penganggur dan keluarganya dalam jangka pendek adalah kebutuhan akan makan dan minum Pemenuhan kebutuhan dasar ini harus didahulukan dan menjadi perhatian utama. Karena para penganggur berpendidikan rendah ini sangat banyak maka mereka bisa disalurkan dalam kegiatan-kegiatan padat karya yang bias mendatangkan upah bagi mereka. Bahkan Direktur Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas, lima tahun kedepan negara ini masih harus mengembangkan industri padat pekerja dan sangat tidak mungkin beralih ke teknologi modern karena struktur angkatan kerja, pekerja dan pengangguran terbuka menurut pendidikan masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Tenaga-tenaga para penganggur kurang terdidik ini bisa dimanfaatkan di kegiatan-kegiatan padat karya sehingga mereka bisa mendapatkan kembali harga dirinya yang telah hilang oleh karena terkena pemutusan hubungan kerja atau karena tidak adanya ketrampilan di dalam bekerja. Pada pemberdayaan ekonomi ini semua elemen masyarakat juga harus ikut mendampingi. Mereka tidak boleh dilepaskan begitu saja seolah-olah ketika mereka sudah terserap dalam kegiatan/proyek yang bersifat padat karya, masalahnya telah selesai. Perlu ada pendampingan psikologis dan yang bersifat agamais serta permanen agar ketahanan mental para penganggur ini tetap baik.Community group discussion bisa digunakan sebagai sarana atau media untuk memperkenalkan mereka satu sama lain sehingga terjalin suatu komunikasi sosial di antara mereka. Dengan mereka saling mengenal satu sama lain mereka bisa saling mengontrol kelakuannya masing-masing baik di tengah lingkungan mereka sendiri maupun lingkungan masyarakat pada umummnya. Jadi proses penyadaran mental dan pemberdayaan sosial dan ekonomi harus berjalan bersama-sama dalam satu kesatuan kegiatan yang saling isi mengisi dan melengkapi serta berorientasi pada perubahan-perubahan social dan ekonomi dan berdampak pada peningkatan martabat manusia.
b. Memberikan dukungan modal kepada pekerja sektor informal
Dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini, investasi yang diutamakan adalah sektor yang tidak terlalu modern dan tanpa menggunakan mesin canggih. Selama ini sector informal dinilai sangat membantu menyerap orang-orang yang menganggur tetapi kreatif dan menjadi peredam di tengah pasar global. Namun bukan berarti sektor formal diabaikan. Jika ternyata sektor informal ternyata dapat menjawabi sebagian dari masalah pengangguran yang dihadapi Bangsa kita, maka sudah waktunya sektor informal ini didukung oleh pemerintah dengan menyiapkan anggaran. Anggaran ini bisa digunakan untuk dijadikan modal pengembangan usaha ekonomis produktif bagi pekerja-pekerja informal.
Kenaikan jumlah pekerja informal akhir-akhir ini merupakan indikasi bahwa untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia tidak bisa lagi bertumpu pada sektor formal. Apalagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya normal ini sangat tidak mungkin menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal. Banyaknya perusahaan/pabrik yang gulung tikar akibat krisis ekonomi yang belum pulih kurang memungkinkan terciptanya sektor formal. Kalaupun ada lapangan kerja baru untuk pekerja formal, persediaannya sangat terbatas dan kesempatan itu hanya bisa diraih oleh pekerja yang trampil, memiliki pendidikan yang memadai dan professional serta berdaya saing tinggi. Para pekerja informal ini harus terwadah dalam kelompok-kelompok usaha ekonomis produktif dan proses kegiatannya musti terkontrol secara rapi. Karena itu sebelum disediakannya suntikan modal baik yang berasal dari APBN maupun APBD di Daerah-daerah, fungsionalisasi peranan kelembagaan melalui penguatan kelembagaan (capacity building) mutlak perlu. Berbagai stakeholders seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, pekerja sosial, aparat Pemerintahan, tokoh-tokoh adat, tokohtokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat perlu duduk bersama untuk menyerap berbagai aspirasi guna menyusun rencana sekaligus melaksanakan pemberdayaan usaha ekonomis produktif masyarakat dalam wadah kelompok yang kuat. Penguatan kelembagaan dan peranan kelembagaan itu dalam mewadahi berbagai kegiatan itu akan sangat membantu terpadu dan teraturnya proses pemberdayaan ekonomi pekerja-pekerja informal. Sebagaimana yang dialami selama ini, ada banyak masalah yang timbul dari kegiatan seperti ini seperti penyelewengan dana, korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama di tingkat pelaksana operasional. Penyelewengan itu bisa diminimalisasi apabila program ini menjadi gerakan sosial (social movement) dan gerakan ekonomi (economic movement) yang bersifat terbuka dan transparan. Seluruh masyarakat harus memantau pelaksanaannya dengan dukungan pers yang terbuka. Keterlibatan berbagai stakeholders seperti lembaga swadaya masyarakat, anggota legislatif, para akademisi dan pekerja sosial, tokoh-tokoh adat dan agama, pers, baik cetak maupun elektronik diharapkan akan memperkecil kemungkinan terjadinya penyelewengan.



2. Membuat Kebijakan Jangka Panjang melalui desentralisasi sentra-sentra pertumbuhan ekonomi ke daerah-daerah.
Sejalan dengan Otonomi Daerah, desentralisasi pertumbuhan ekonomi harus dipindahkan dari Pusat ke Daerah, dari Jawa ke luar Jawa, dari daerah/wilayah yang padat industri ke daerah yang tidak padat industri sehingga bisa menekan angka urbanisasi dari Desa ke Kota, atau dari daerah yang ‘tidak bergula’ ke daerah atau wilayah yang ‘bergula’. Selama ini sentra-sentra pertumbuhan ekonomi hanya berpusat di Jakarta sehingga orang dari seluruh wilayah di Indonesia ini ramai-ramai mengais rejeki di Jakarta. Jika pabrik-pabrik, industri, perusahaan-perusahaan berskala nasional atau Internasional dibangun juga di daerah-daerah, maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi di daerah/wilayah itu. Begitu terjadi pertumbuhan ekonomi, maka akan menciptakan penambahan tenaga kerja baru. Agar investor menanamkan modalnya di daerah-daerah, berbagai infrastruktur, komunikasi, transportasi harus dibangun sebagaimana halnya di Jawa atau daerah-daerah/wilayah yang memiliki peluang pertumbuhan ekonomi tinggi. Cara mengkomunikasikan program ini adalah melalui workshop, seminar, simposium yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan di tingkat atas; juga melalui wakil-wakil rakyat di DPR dengan menyalurkan aspirasi ini kepada mereka. Atau melalui pembentukan opini publik di media massa secara terus menerus, melalui loby, bargaining dan sebagainya.











BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan tentang pengangguran di Indonesia yang telah di uraikan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan yang sekiranya dapat mewakili isi makalah secara keseluruhan. Kesimpulan tersebut adalah:
  1. Pengangguran di Indonesia yang telah mencapai puluhan juta orang merupakan suatu masalah yang mendesak yang harus segera dipecahkan karena dampak pengangguran itu akan sangat berbahaya bagi tatanan kehidupan sosial.
  2. Pengangguran yang tgerjadi di Indonesia lebih banyak dialami oleh para wanita, hal ini sesuai dengan kondisi dan karakteristik yang terjadi di Australia.
  3. Selain itu, pengangguran yang terjadi di Indonesia juga lebih banyak terdapat di perkotaan atau kota-kota besar bila dibandingkan dengan kota-kota kecil atau desa. Hal ini juga sesuai dengan kondisi dan karakteristik pengangguran di Australia.
  4. Masalah pengangguran akan dapat ditekan atau diminimalisir dengan cara melakukan kebijakan-kebijakan jangka pendek dan jangka panjang seperti yang telah tersebut di atas. Akan tetapi yang perlu diingat, pengentasan masalah ini memerlukan koordinasi yang baik dari semua pihak. Jadi yang wajib bertanggungjawab untuk mengatasi masalah ini adalah kita semua, bukan hanya pemerintah saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar