Rabu, 15 Desember 2010

Devaluasi dan Ketidakseimbangan dalam Neraca Pembayaran


PENDAHULUAN
Perekonomian Indonesia semakin bersifat  terbuka sejak orde baru. Keterbukaan ini tidak hanya terjadi di satu aspek saja akan tetapi terjadi di banyak aspek. Implikasi dari adanya keterbukaan tersebut, maka perkembangan perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh  perkembangan perekonomian internasional.  Hal ini tercermin  dari pola  perdagangan Indonesia yang mengalami fluktuasi sebagai akibat perkembangan nilai ekspor dan impor yang mengalami fluktuasi. Tabel di bawah ini memperlihatkan perkembangan rata-rata per tahun nilai ekspor dan impor Indonesia selama periode 1982 hingga 1993.
Tabel: Perkembangan Ekspor Dan Impor Indonesia Terhadap Tahun  1980 - 1995(dalam juta US $)
Tahun
Nilai   Ekspor
Pertumbuhan (%)
Nilai   Impor
Pertumbuhan  (%)


1980
21084,1
0
11997,1
0

1981
22250,3
5,53
13272,1
10.63

1982
22328.3
0,35
16850.9
26.96

1983
21145.9
- 5,31
16351.8
-3

1984
21887.8
3,53
13882.1
-15.1

1985
18586.7
-15,08
10259.1
-26.09

1986
14085
-24,65
10718.4
4.48

1987
17135.6
21,66
12370.3
15.41

1988
19218.5
12,15
13248.5
7.1

1989
22158.9
15,30
16359.6
23.48

1990
25675.3
15,87
21837.1
33.48

1991
29142
13,50
25868.8
18.46

1992
33966.9
16,56
27279.6
5.45

1993
36823
8,41
28327.8
3.84

1994
40053,4
8.77
31938.5
12.75

1995
45418,0
13.39
      40628,7
27.21

Rata-rata pertumbuhan
5.62
 
9.06



Sumber :  Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, 1995.
Jika diamati perkembangan nilai ekspor dan impor Indonesia yang mengalami kenaikan rata-rata 5,62% dan 9,06% per tahun selama periode enambelas tahun terakhir, maka nampak perkembangan nilai impor lebih cepat dibanding dengan perkembangan nilai ekspor.  Namun demikian jika diamati dari nilai nominalnya, maka nilai ekspor selalu melebihi nilai impor. Keadaan ini menunjukkan neraca perdagangan Indonesia selalu mengalami surplus, walaupun surplus tersebut cenderung menurun.  Pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada nilai ekspor adalah pada tahun 1992 yang mencapai 16,56%, sebagai akibat beberapa kebijakan pemerintah seperti kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.  Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 1986 yang mencapai -24,65% dibanding tahun sebelumnya. Di lain pihak perkembangan nilai impor nampak mengalami fluktuasi, pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1990 yang mencapai 33,48% dibanding dengan tahun sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 1985 yang mencapai -26,09% dibanding dengan tahun sebelumnya.
Tahun 
Non Migas % dari total
Pertumbuhan (%)
Migas % dari total
Pertumbuhan (%)


1980
          26,89
-
73,11
-

1981
          18,72
-  30,38
81,28
11,17

1982
          21,04
12,39
    78,96
- 2,85

1983
      27,08
  28,70
72,92  
7,60

1984
29,68
9,60
70,32
  - 3,60

1985
33,18
8,80
66,82
- 4,90

1986
58,38
75,90
41,62
-37,70

1987
60,67
3,90
39,33
- 5,50

1988
61,46
1,30
38,54
- 2,00

1989
60,82
- 1,04
39,18
- 1,70

1990
54,58
-10,20
45,42
15,90

1991
    63,97
17,29
36,63
-19,00

1992
70,18
9,70
29,82
-18,60

1993
74,52
6,18
25,48
  -14,55

1994
75,31
1,06
24,69
- 3,10

1995
87,08
15,63
24,70
0,04

Rata-rata pertumbuhan
8,83
 
-6,27



                       Sumber : Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1990/91 - 1994/5
Pada tahun 1980 mengalami surplus sebesar US $ 2754 juta dan pada tahun 1981 mengalami defisit sebesar US $ 499 juta. Defisit ini terus menerus terjadi bahkan semakin membengkak, hingga mencapai puncaknya pada tahun 1991 yang mencapai US $ 4392 juta. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya sedikit mengalami penurunan, hingga pada tahun 1995 menjadi US $ 6760 juta. Defisit tersebut mengalami fluktuasi sesuai dengan keadaan harga minyak bumi di pasaran  luar negeri. Secara rata-rata laju kenaikan defisit transaksi berjalan selama 16 tahun terakhir sebesar 78,28% per tahun. Kondisi transaksi berjalan dalam neraca pembayaran yang mengalami defisit terus menerus, dan menyadari  harga minyak bumi yang kian tidak menentu, maka upaya untuk meningkatkan penerimaan ekspor non migas mutlak diperlukan. Salah satu upaya untuk mendorong peningkatan ekspor adalah dengan mempengaruhi nilai tukar mata uang (Branson, W, 1978).
Atas dasar inilah maka pemerintah Indonesia sejak  tahun 1986 kembali melakukan kebijakan devaluasi untuk meningkatkan jumlah ekspor Indonesia. Akan tetapi pelaksanaan kebijakan devaluasi perlu mendapat perhatian yang lebih serius mengingat dalam jangka pendek kebijakan ini yang justru menimbulkan efek yang kurang baik terhadap keseimbangan neraca pembayaran dan pendapatan nasional. Oleh sebab itu penerapan kebijakan ini tidak bias berdiri sendiri, malainkan harus ditindak lanjuti dengan kebijakan-kebijakan pendukung.











PEMBAHASAN
A.    Konsep Ketidakseimbangan
Seperti yang telah kita ketahui bersama, secara pembukuan atau accounting suatu Neraca Pembarayan Internasional atau NPI selalu dalam keadaan yang seimbang. Untuk mengetahui konsep ketidakseimbangan tersebut, kita perlu membedakan transaksi NPI ke dalam :
a.                   Transaksi yang autonomous : yakni transaksi yang timbul dengan sendirinya bukan sebagai akibat dari adanaya trasaksi lain. Biasanya motif transaksi ini adalah untuk mencari keuntungan. Transaksi dalam rekening yang sedang berjalan (current account) dan capital jangka panjang pada umumnya termasuk ke dalam transaksi yang autonomous.
b.                  Transaksi yang induced/compensatory transaction : yakni transaksi yang timbul sebagai akibat adanya transaksi lain. Yang termasuk ke dalam transaksi ini adalah aliran modal (pemerintah) jangka pendek serta aliran emas.
Suatu NPI (neraca pembayaran internasional) dikatakan tidak seimbang apabila transaksi autonomous debit tidak sama dengan transaksi autonomous kredit. Defisit apabila transaksi autonomous debit lebih besar daripada transaksi autonomous kredit, dan surplus apabila transaksi autonomous debit lebih kecil daripada transaksi autonomous kredit.
B.     Sebab-sebab Ketidakseimbangan Dalam NPI
Ketidakseimbangan dapat timbul sebagai akibat dari beberapa factor, diantaranya: alam, kegiatan ekonomi swasta, kegiatan kebijakan pemerintah (sendiri dan asing), yang mengakibatkan perubahan dalam permintaan dan penawaran valuta asing, misalnya :
a.       Ekspor dan impor dapat berubah-ubah karena musim (seasonal disequilibrium).
b.      Perubahan di dalam pendapatan sebagai akibat kebijaksanaan harga, tingkat bunga atau kesempatan kerja dari Negara lain dapat menimbulkan ketidakseimbangan (cyclical disequilibrium).
c.       Kemajuan teknik (misalnya : penemuan karet syntethis) dapat menyebabkan ketidakseimbangan (deficit) Negara penghasil karet alam (structuraldisequilibrium).
d.      Aliran modal sebagai akibat kegiatan spekulasi (destabilizing speculation).
C.    Perkembangan Kebijakan Sistem Nilai Tukar di Indonesia
Sejak periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali,  yaitu Sistem Nilai Tukar Tetap, Sistem Nilai tukar Mengambang Terkendali, dan terakhir Sistem Nilai tukar Mengambang Bebas.
1.      Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate ) dimana lembaga otoritas moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun permintaan terhadap valuta asing yang terjadi.  Bila terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau permintaan lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, maka dalam hal ini akan mengambil tindakan untuk membawa tingkat nilai tukar ke arah yang telah ditetapkan. Tindakan yang diambil oleh otoritas moneter bisa berupa pembelian ataupun penjualan valuta asing, bila tindakan ini tidak mampu mengatasinya, maka akan dilakukan penjatahan valuta asing (Hendra Halwani, 2005). Ada pun kelemahan sistem ini yaitu kurangnya fleksibilitas mata uang jika terjadi perubahan-perubahan dalam pasar internasional. Selain itu, otoritas moneter harus memiliki cukup dana untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uangnya. Sistem nilai tukar tetap yang berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1964 dengan nilai tukar resmi Rp 250/US Dollar, sementara nilai tukar Rupiah terhadap mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar Rupiah per US Dollar di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar internasional.
Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada Bank Indonesia. Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka memenuhi permintaan valuta asing oleh importir maupun masyarakat. Berdasarkan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali yaitu yang pertama kali dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar Rupiah ditetapkan kembali menjadi Rp 378/US Dollar. Devaluasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi Rp 415/US Dollar dan yang ketiga pada tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar sebesar Rp 625/US Dollar. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan karena nilai tukar Rupiah mengalami overvaluated sehingga dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional.
2.      Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Nilai tukar mengambang terkendali, dimana pemerintah mempengaruhi tingkat nilai tukar melalui permintaan dan penawaran valuta asing, biasanya sistem ini diterapkan untuk menjaga stabilitas moneter dan neraca pembayaran. Kelebihan sistem ini adalah fleksibilitasnya yang cukup tinggi dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan kondisi pasar. Adapun kelemahan sistem ini yaitu perlunya otoritas moneter memiliki cadangan dana yang cukup untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uangnya.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 %. Pada sistem ini nilai tukar Rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah spread (Teguh Triyono, 2005).
Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai tukar Rupiah dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap US Dollar. Nilai tukar Rupiah berubah-ubah antara Rp 644/US Dollar sampai Rp 2.383/US Dollar. Dengan perkataan lain, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung tidak pasti.
3.                  Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas
Nilai tukar mengambang bebas, dimana pemerintah tidak mencampuri tingkat nilai tukar sama sekali sehingga nilai tukar diserahkan pada permintaan dan penawaran valuta asing. Penerapan sistem ini dimaksudkan untuk mencapai penyesuaian yang lebih berkesinambungan pada posisi keseimbangan eksternal (external equilibrium position. Tetapi kemudian timbul indikasi bahwa beberapa persoalan akibat dari kurs yang fluktuatif akan timbul, terutama karena karakteristik ekonomi dan struktur kelembagaan pada negara berkembang masih sederhana. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas ini diperlukan sistem perekonomian yang sudah mapan (Eric Yuliana, 2000). Kelebihan sistem ini adalah fleksibilitasnya yang tinggi dalam melakukan penyesuaian terhadap kondisi pasar. Selain itu otoritas moneter tidak perlu mempunyai cadangan dana untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uangnya. Adapun kelemahan dari sistem ini adalah sangat besarnya peluang untuk berspekulasi, sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan nilai tukar.
Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap US Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turmoil yang melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat.
D.    Ketidakseimbangan Dalam System Kurs
Sistem kurs tetap, mengambang bebas, dan mengambang terkendali memiliki perbedaan yang sangat signifikan di dalam berproses untuk menuju keseimbangan. Untuk memperjelas, di bawah ini akan dicontohkan kasus dua Negara yakni Amerika dengan mata uang Dollar-nya dan Inggris dengan mata uang Poundsterling-nya. Kedua Negara tersebut terikat kegiatan Internasional yang saling mempengaruhi neraca pembayarannya dengan permintaan dan penawaran uang di masing-masing negara.
Permintaan Amerika serikat untuk Pounsterling bertolak pada permintaan masyarakat amerika akan barang Impor dari Inggris. Dapat pula berlangsungnya suatu transfer unilateral dari Amerika ke Inggris, dan bisa pula Investasi dari perusahaan-perusahaan Amerika ke Inggris yang kesemuanya itu adalah arus modal keluar bagi Amerika.
Penawaran Pounsterling Muncul dari berbagai ekspor barang dari Amerika ke Inggris, dan juga transfer unilateral yang diterima warga Inggris dari Amerika. Selain itu pula dapat berupa investasi warga Inggris di Amerika, yang kesemuanya tadi adalah berupa arus masuk bagi Amerika.
Asumsi yang digunakan adalah hanya ada dua Negara tersebut yang melakukan hubungan, dan semua transaksi yang ada dilakukan dengan mata uang Pounsterling. Keadaan equilibrium awal ditandai dengan bertemunya kurva permintaan dan penawaran Poundsterling pada titik  E, dengan satuan kurs 2$ = 1Pounds. Apabila terjadi sesuatu hal yang mengakibatkan timbulnya kurva parmintaan baru sehingga kurva permintaan naik ke atas dikarenakan naiknya permintaan Pounsterling, maka menurut 3 sistem kurs yang ada pemerintah Amerika Serikat dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
1.   Sistem Kurs Tetap
Pada system ini Pemerintah Amerika Serikat akan mempertahankan nilai tuklar kursnya. Sebagai contoh pemerintah tetap mempertahankan kursnya pada 2$, maka langkah yang dilakukan pemerintah adalah dengan cara menarik sebagian Punsterlingnya dari  cadangan resmi. Ataupun Pemerintah Inggris yang melakukan alternative dengan membantu supply Pounds dengan membeli dollar Amerika (memasok Pounsterling) ke Amerika dengan tujuan mencegah apresiasi Pounsterling ataupun depresiasi Dollar.
Dengan langkah seperti itu, maka neraca pemerintah akan mengalami deficit sebesar 50 Pounds/harinya, karena selisih ekulibrium awal adalah ; permintaan Pounds = 40, dengan kenaikan permintaan maka menjadi = 90 Pounds. Maka selisih tersebut harus disediakan Pemerintah. Dengan neraca mengalami deficit maka pemerintah Amerika akan mempunyai kepentingan untuk menyeimbangkannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan penerimaan dari ekspor yang dilakukan Negara tersebut. Untuk menimbulkan keinginan Negara lain untuk membeli produk-produk Amerika, maka Amerika akan berusaha untuk menurunkan nilai tukar dollar dengan cara melakukan kebijakan devaluasi. Kebijakan ini akan menyebabkan harga produk-produk Amerika menjadi lebih rendah sehingga akan meningkatkan ekspor.

Gambar: Kurva system kurs tetap
2.   Sistem Kurs Mengambang Bebas
Dalam system ini pemerintah tidak turut campur dalam aktifitas kurs, kuat dan lemahnya nilai kurs tergantung dari interaksi permintaan dan penawaran di pasar, sehingga pemerintah tidak akan melakukan intervensi dalam bentuk apapun termasuk kebijakan devaluasi. Jadi dengan adanya kenaikan permintaan, maka secara alamiah bila permintaan naik maka kurs akan ikut naik. Pada kasus diatas bila terjadi kenaikan permintaan pada tingkat kurva D tersebut, menyebabkan kurs menjadi 3$/Pounds dengan jumlah permintaan Pounds 60/hari. Permintaan dan penawaran pasar yang akan menentukan berapa jumlah Pounds yang dibutuhkan masyarakat tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. Dengan demikian pemerintah tak akan kehilangan Pounds dari cadangan resminya.


Gambar: Kurva system kurs mengambang bebas
3.   Sistem Kurs Mengambang Terkendali
Dalam system ini, Pemerintah melakukan intervensi guna mempengaruhi sebagian kinerja pasar. Dengan kata lain naik turunya kurs dihasilkan dari kinerja pasar, namun pemerintah membatasi pergerakannya sampai dengan level mana. Jadi tingkat apresiasi atau depresiasi mata uang dapat ditentukan pada level tertentu. Caranya adalah dengan join antara peran pemerintah menyuplai Pounsterling, dan sisanya adalah berupa suplly Pounds akibat depresiasi Dollar.
Pada kasus di atas, bila pemerintah menginginkan depresiasi dollar brehenti pada tingkat 2,5$/Pounds, maka Pemerintah harus menyuplai sebesar 20Pounds (selisih antara kurva Demand pada 2,5 dan Kurva Supply). Selebihnya telah disediakan pasar melalui depresiasi Dollar.
Gambar: Kurva system kurs mengambang terkendali
E.     Kebijakan Devaluasi Hanya Terjadi di System Kurs Tetap
Devaluasi adalah suatu bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada suatu negara untuk secara sepihak menurunkan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lainnya. Seperti yang telah diterangkan di atas, kebijakan ini hanya diterapkan pada suatu Negara yang menggunakan system kurs tetap, karena penerapan devaluasi hanya dapat dilakukan dengan adanya intervensi penuh dari pemerintah Negara bersangkutan. System kurs lain tidak dapat menggunakan kebijakan ini karena telah menyerahkan intervensi untuk mengendalikan nilai kurs ke pasar, jadi kuat lemahnya kurs tergantung dari permintaan dan penawaran kurs di pasar.

F.      Siklus Devaluasi Negara-Negara Berkembang
Kebijakan ekonomi luar negeri suatu negara tidak terlepas dari keadaan perekonomian di dalam negerinya. Demikian juga halnya dengan kebijakan pemerintah dalam bidang kurs devisa. Dalam kebanyakan negara-negara yang sedang membangun, yang biasa juga disebut developing countries, inflasi rupa-rupanya merupakan gejala yang sangat umum. Tingginya inflasi pada umumnya, bahkan kiranya boleh pula dikatakan senantiasa, lebih tinggi daripada tingkat inflasi yang terjadi di negara-negara yang sudah maju. Mata uang negara-negara berkembang pada umumnya ditambatkan pada mata uang tangguh atau hard currency, seperti misalnya ditambatkan pada mata uang dollar Amerika Serikat, pound Inggris, france Perancis, SDR dan emas. Dengan menggunakan teori paritas daya beli versi relatif, sebagai akibat lebih tingginya inflasi dalam negeri dibandingkan dengan inflasi yang terjadi di negara yang mata uangnya kita pakai sebagai mata uang tanbahan, maka kurva kurs paritas misalnya dollar amerika Serikat dinyatakan dalam rupiah mempunyai bentuk seperti tergambar pada gambar 1, sebagai kurva KP.
Dengan menggunakan sistem kurs tambatan maka kurs yang berlaku bergerak sejajar dengan sumbu waktu yaitu dari a menuju ke B. Mula-mula yaitu pada periode to kurs dollar ditetapkan di atas kurs paritas. Ini berarti bahwa mata uang rupiah dinilai lebih rendah daripada seharusnya. Dalam keadaan seperti ini tendensi ekspor terlalu besar dan impor terlalu kecil. Akan tetapi imbangan yang timpang ini mempunyai tendensi untuk mengecil dengan sendirinya sebagai akibat tidak berubahnya kurs yang berlaku dan terus meningkatnya kurs paritas. Ketimpangan diatas sama sekali harus pada periode t,. Akan tetapi keadaan tanpa adanya ketimpangan tersebut tidak berlangsung lama, sebab keadaan tersebut segera diikuti oleh ketimpangan sebagai akibat kurs dollar yang terlalu rendah, yang berarti mata uang rupiah dinilai terlalu tinggi. Ketimpangan yang baru ini berupa semakin sulitny a mengekspor dan semakin terlalu besarnya impor. Ketimpangan semacam ini akan berjalan terus dan bahkan semakin berat disebabkan oleh semakin jauhnya jarak antara garis KP dengan garis ab. Ini mempunyai makna semakin besarnya kelebihan nilai ekstern daripada mata uang rupiah. Apabila keadaan ini dibiarkan begitu terus maka defisit neraca pembayaran semakin berat. Dengan sendirinya demikian juga halnya dengan posisi likuiditas internasionalnya.

            Rp/$
                                                                                           KP

                                                              d                                      e


 



             a                                                   b
 c


                                                                                                     Waktu
                t0                                   t1        t2
                              Gambar 1: SIKLUS DEVALUASI
Untuk mengatasi masalah ini salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah ialah mendevaluasikan mata uang rupiah, yaitu dengan cara menaikkan kurs valuta asing. Dalam contoh Gambar 1 pada waktu t2 pemerintah menaikkan kurs dollar dari semula Rp (t0 a)/$ menjadi Rp (t2d)/$. Sebagai akibat tindakan devaluasi tersebut kurs yang berlaku sekarang lebih tinggi daripada kurs paritas. Keadaan ini persis seperti keadaan pada periode to. Pada waktu-waktu berikutnya gejala-gejala yang terjadi juga sama dengan gejala-gejala yang terjadi pada kurun waktu to sampai t2.
Dari uraian di atas jelas bahwa sebagai akibat lebih tingginya tingkat inflasi di dalam negeri dibandingkan dengan tingkat inflasi di negara yang mata uangnya dipakai sebagai mata uang tambatan, siklus kejadian-kejadian sebagai berikut mempunyai tendensi untuk terjadi secara berulang : Mula-mula kurs valuta asing lebih tinggi daripada kurs paritas. Ini otomatis diikuti oleh mengecilnya penyimpangan tersebut. Penyimpangan tersebut mencapai nol pada titik potong kurva kurs paritas dengan garis kurs valuta asing yang berlaku. Selanjutnya ini diikuti oleh masa-masa di mana kurs paritas lebih tinggi daripada kurs yang berlaku. Perbedaan tersebut menjadi semakin berat, pemerintah mengambil langkah mendevaluasi mata uangnya. Devaluasi ini dibuat cukup tinggi untuk melampaui kurva kurs paritas. Dari tingkat kurs yang tinggi tersebut, kurs yang berlaku kembali sejajar dengan sumbu horisontal ini berarti siklus yang kedua mulai. Siklus yang kedua ini diikuti oleh siklus yang ketiga. Demikian seterusnya.
G.  Devaluasi: Pendekatan Elastisitas
Kita telah mengetahui bahwa pada umumnya yang ingin dicapai melalui kebijakan devaluasi ialah membaiknya posisi neraca pembayaran luar negeri. Untuk menentukan berhasil tidaknya suatu kebijakan devaluasi dalam usaha memperbaiki neraca pembayaran luar negeri tergantung pada terpenuhi tidaknya syarat Marshall Lerner, syarat bahwa hasil penjumlahan elastisitas permintaan luar negeri akan komoditi ekspor dengan elastisitas permintaan dalam negeri akan komoditi impor lebih besar daripada satu. Apabila syarat tersebut terpenuhi, devaluasi akan menghasilkan perbaikanposisi neracapembayaran, sedangkan apabila syarat tersebut tidak terpenuhi dapat terjadi bahwa keadaan neraca pembayaran menjadi semakin buruk justru sebagai akibat adanya tindakan devaluasi.
Pandangan mengenai elastisitas ini ternyata mengalami perubahan, yang dahulunya elasticity pessimis telah berubah menjadi elasticity optimis. Dari perjalanan sejarah perekonomian Indonesia, boleh dikatakan sudah berulang kali kita melaksanakan kebijakan devaluasi. Pengambilan kebijakan devaluasi tersebut banyak menimbulkan komentar yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang pesimis dan kelompok yang optimis. Baik pandangan yang optimis maupun yang pesimis rupa-rupanya pada dasarnya bersumber dari perbedaan pendapat mengenai elastisitas juga, sekalipun ada yang mendasarkan pada pendekatan lain.
Faktor-faktor yang dapat digolongkan sebagai unsur pembentuk pandangan yang pesimis antara lain:
1.      Komoditi ekspor (non migas) kita beberapa diantaranya, seperti misalnya karet alam, timah, mengingat bahwa dalam pembentukan hasil produksi akhir tersebut menyumbangkan bagian yang sangat kecil, maka tendensinya diperkirakan bahwa permintaan pasar dunia akan barang-barang tersebut terhadap harga sangat inelastik.
2.      Selain hal di atas, banyak komoditi ekspor non migas kita berupa hasil produksi pertanian. Seperti kita ketahui, paling tidak untuk jangka pendek, penawaran akan hasil produksi pertanian adalah sangat inelastik.
3.      Mengingat bahwa devaluasi selalu diadakan secara tiba-tiba, kebanyakan produsen tidak atau belum siap untuk memperbesar produksi untuk meningkatkan ekspor.
4.      Nilai impor tidak tentu akan menurun sebagai akibat adanya devaluasi. Apabila permintaannya mempunyai elastisitas yang rendah atau inelastik, devaluasi justru akan mengakibatkan meningkatnya penggunaan valuta asing untuk impor.
5.      Devaluasi mengakibatkan meningkatnya tingkat harga di dalam negeri. Ini dengan sendirinya menyebabkan harga pokok barang-barang ekspor akan naik. Dengan demikian, devaluasi tendensinya tidak meningkatkan ekspor, tetapi justru mempersulit ekspor.

Menurut hipotesis kurva J sekalipun tindakan devaluasi nantinya berhasil memperbaiki neraca pembayaran, namun perbaikan tersebut memerlukan waktu. Untuk beberapa bulan atau beberapa triwulan pertama, dapat terjadi keadaan neraca pembayaran justru memburuk. Ini berarti bahwa saldo kredit pos-pos di atas garis tendensinya memiliki grafik time-serie berbentuk huruf' J' yang miring ke kanan. dalam Gambar 2 kurva AG merupakan grafik time serie saldo pos-pos di atas garis. Pada saat neraca pembayaran mengalami defisit per satuan waktu sebesar aA pemerintah mengumumkan berlakunya kebijakan devaluasi. Sebagai akibat kebijakan devaluasi tersebut defisitnya mula-mula bertambah besar. Baru sesudah berjalan selama ab bulan defisit atau saldo debit pos-pos di atas garis bertambah kecil. Neraca pembayaran mencapai keadaan seimbang pada titik waktu c. Setelah titik waktu c terlampaui, neraca pembayaran mengalami surplus.




Saldo pos-pos
  diatas garis
               (+)                                                                                        G


                                a         b                            c
                  0                                                                                 Waktu
                              A


                (-)

Gambar 2 : DAMPAK DEVALUASI MENURUT KONSEP KURVA 'J'

Dari pengalaman kebijakan devaluasi yang sudah-sudah, hipotesis kurva 'J' rupa-rupanya berlaku juga untuk perekonomian kita. Khususnya untuk perusahaan-perusahaan yang bentuk pasar output ataupun pasar inputnya tidak kompetitif, ketidak lancaran dalam produksi tendensinya terjadi. Hal ini disebabkan mereka saling menunggu ketetapan tingginya harga jual atau harga beli di antara mereka. Sebagai akibatnya kelancaran ekspor pun akan terganggu pula. Oleh karena itulah dalam beberapa waktu pertama dapat terjadi neraca pembayaran bertambah buruk. Bilamana produksi sudah kembali normal, daya saingnya akan kembali tinggi, dan bahkan tendensinya lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelum terjadi devaluasi, neraca pos-pos di atas garis berkecenderungan membaik.

H. Devalusi: Pendekatan Absorpsi
Salah satu kelemahan pokok yang terdapat pada pendekatan elastisitas seperti diuraikan di atas berakar pada penggunaan pendekatan ekuilibrium parsial sebagai dasarnya. Dengan menggunakan pendekatan tersebut maka dalam analisis pengaruh devaluasi terhadap bergesernya kurva permintaan dan atau kurva penawaran pasar, yang antara lain melalui perubahan pendapatan nasional dan perubahan tingkat harga, tidak mendapatkan perhatian. Selain itu yang sebenarnya menentukan pengaruh devaluasi terhadap neraca pembayaran bukanlah semata-mata elastisitas parsial, yaitu elastisitas dari masing-masing komoditi, melainkan elastisitas total. Sebagai akibat adanya unsur substitusi maka elastisitas total tidaklah perlu sejalan dengan elastisitas parsial.
Menyadari akan kelemahan-kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut maka timbul beberapa pendekatan tandingan. Antara lain ialah pendekatan absorpsi. Pendekatan absorpsi ini dipelopori oleh S. Alexander (1952), yang selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa pemikir ekonomi lainnya, salah satu diantaranya ialah H.G. Johnson (1958).
Pendekatan absorpsi memandang neraca pembayaran bukan hanya sebagai kelebihan penerimaan luar negeri dari pembayaran luar negeri oleh penduduk suatu negara, melainkan sebagai kelebihan penerimaan total (yang terdiri dari penerimaan luar negeri ditambah penerimaan dalam negeri) dari pengeluaran total (yang juga terdiri dari pengeluaran luar negeri di tambah dengan pengeluaran dalam negeri).
Dari pendekatan absorpsi dapat kita saksikan bahwa apakah kebijaksanaan devaluasi menyebabkan neraca pembayaran menjadi bertambah baik keadaannya ataukah sebaliknya, yaitu memburuk, tergantung pada besamya pengaruh devaluasi tersebut terhadap produk nasional, dan terhadap besamya absorpsi. Apabila devaluasi menyebabkan meningkatnya produk nasional dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan bertambah besamya peningkatan daya absorpsi, maka neraca pembayaran akan bertambah baik. Akan tetapi kalau yang terjadi sebaliknya, maka neraca pembayaran justru akan memburuk sebagai akibat adanya kebijakan devaluasi. Oleh karena itu, apakah sebuah kebijakan devaluasi akan berhasil memperbaiki neraca pembayaran ataukah tidak, tergantung pada besarnya peningkatan nilai relatif dibandingkan dengan besarnya peningkatan nilai. Apabila :
-          Peningkatan produk nasional > Peningkatan daya absorpsi:   neraca pembayaran keadaannya bertambah baik
-          Peningkatan produk nasional < Peningkatan daya absorpsi:   neraca pembayaran keadaannya bertambah buruk
Selanjutnya dapat diketengahkan di sini, bahwa kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan nilai Y dapat kita sebut sebagai expenditure-switching policies, sedangkan kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan nilai A kita sebut sebagai expenditure-reducing policies. Dengan menggunakan kedua pengertian ini kita dapat menerangkan kebijakan-kebijakan ekonomi tertentu yang bertujuan memperbaiki neraca pembayaran akan tetapi masalah berikutnya ialah bagaimana kita memilih diantara kedua kebijakan tersebut. Mengenai masalah ini cara pemecahannya dapat kita terangkan dengan menggunakan diagram Swan.
Diagram Swan, gambarnya terlihat seperti pada Gambar 3. Sumbu horisontal dipergunakan sebagai sumbu pengeluaran nyata atau real expenditure, sedangkan sumbu vertikal dipergunakan sebagai skala untuk mengukur tinggi-rendahnya rasio atau angka banding antara tingkat harga di luar negeri dengan tingkat harga di dalam negeri. Rasio ini menunjukkan daya saing perekonomian dalam negeri dalam menghadapi barang-barang buatan luar negeri baik di pasar dalam negeri maupun di pasar luar negeri. Semakin tinggi nilai rasio tersebut semakin tinggi daya saing hasil produksi dalam negeri dalam menghadapi persaingan terhadap hasil produksi luar negri.
Perhatikan kurva KE pada Gambar 3. Kurva tersebut logisnya bermula dari salah satu rasio harga luar negeri terhadap harga dalam negeri pada nilai yang lebih besar daripada nol. Kurva tersebut bergerak ke kanan naik. Naiknya ke kanan semakin terjal dan akhirnya sejajar dengan sumbu vertikal.
              P luar negeri                  A              KE
 P dalam negeri


                                                 a       b
                                     h                         c
                D                                    F                                   B
                           g     P                                d
                                     f                 R       e                         KI
                                            Q         M
                                                                                                 Pengeluaran Nyata
                    0                              C
                                     Gambar 3 : DIAGRAM SWAN

Kurva KE tersebut membagi bidang ke dalam dua bagian. Bagian di sebelah kanan dan bawah kurva KE merupakan daerah defisit, sedangkan bagian di sebelah kiri dan atas kurva KE merupakan daerah surplus neraca pembayaran. Jarak horisontal dari sebuah titik kedudukan terhadap kurvaKE menunjukkan besarnya surplus atau defisit neraca pembayaran. Kurva kedua yang merupakan unsur diagram Swan ialah kurva ekuilibrium keseimbangan intern Swan, KI, yang merupakan kurva yang menunjukkan berbagai tingkat pengeluaran nyata pada berbagai tingkat daya saing yang memenuhi syarat penggunaan penuh kapasitas produksi nasional. Kurva keseimbangan intern ini juga membagi bidang kuadran ke dalam dua bagian. Bagian di sebelah kiri dan bawah kurva KI merupakan daerah pengangguran, sedangkan bagian di sebelah kanan dan atas kurva KI merupakan daerah over-full-employment atau tingkat kesempatan kerja berkelebihan. Perekonomian berada dalam keadaan full-employmenty apabila perekonomian berada tepat pada kurva KI.
Dari kedua kurva tersebut kita temukan titik F. Titik F ini menunjukkan tingkat rasio harga luar negeri terhadap harga dalam negeri yang menghasilkan neraca pembayaran yang seimbang dan kesempatan kerja yang penuh. Mengingat bahwa keadaan perekonomian yang ideal bagi suatu bangsa adalah keadaan perekonomian di mana baik keseimbangan intern maupun juga keseimbangan ekstern terpenuhi, maka masalah yang timbul ialah, apabila keadaan perekonomian yang terjadi terlalu menyimpang dari titik F, perekonomian perlu berusaha mencari jalan untuk membawa perekonomian menuju ke F.
I.  Dampak Devaluasi
Dampak devaluasi nilai tukar mata uang terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat melalui pengaruhnya terhadap  pendapatan  nasional. Secara sepintas nampaknya  devaluasi  akan mendorong kenaikan volume ekspor dan menekan volume impor  negara  yang mengalami depresiasi akibat perubahan harga  (harga ekspor  lebih murah dinilai dengan mata uang asing  dan  harga impor lebih  mahal dinilai dengan mata uang domestik) sehingga akan  meningkatkan pendapatan. Namun  dalam kenyataan dampak devaluasi tersebut  tidaklah sejelas seperti yang dikemukan di atas, karena tiga alasan pokok (Kindleberger, 1986:475) yaitu:
Pertama,devaluasi akan mempengaruhi  neraca perdagangan melalui perubahan pada terms of  trade, dan pengaruh ini tidak selamanya bersifat  positif. Pengaruh devaluasi terhadap neraca perdagangan sangat tergantung pada elastisitas permintaan  terhadap ekspor dan permintaan terhadap impor. Semakin elastis permintaan impor dan permintaan ekspor, maka pengaruh neraca perdagangan akan semakin stabil (positif).
Kedua, devaluasi mungkin  akan memperburuk nilai tukar perdagangan (Px/Pm) internasional, yang membuat suatu negara harus membayar lebih banyak untuk setiap unit impor akibat perubahan harga ekspor dan harga impor yang terjadi. Apabila nilai tukar dagangan menjadi lebih buruk,  maka  daya beli masyarakat yang merupakan  salah satu ukuran kesejahteraan akan berkurang. Memburuknya nilai tukar dagangan ini akan menyebabkan pengurangan cadangan devisa dan pada akhirnya akan menurunkan pendapatan nasional. Menurut aliran Keynes (Kindleberger, 1978:153) jika harga perdagangan ditetapkan dalam mata uang negara penjual dan kemudian terjadi devaluasi, sehingga  terms of trade nya menjadi lebih  buruk;  maka   pengaruhnya terhadap pendapatan nasional akan lebih buruk  dibanding dengan bila terms of trade nya  tetap tidak berubah. Kalaupun terjadi kenaikan pendapatan setelah adanya  devaluasi, tetapi kenaikan tersebut akan lebih kecil pada kondisi terms of trade yang lebih buruk dibanding dengan apabila terms of trade yang konstan. Keadaan ini mengisyaratkan bahwa  besar kecilnya devaluasi yang terjadi akan menentukan besar kecilnya perubahan pada pendapatan nasional. Dengan kata lain memburuknya terms of trade akibat devaluasi akan menyebabkan penurunan pada pendapatan nasional.
Ketiga, devaluasi dikatakan berhasil apabila neraca pembayaran bergerak mendekati ekuilibrium, dan umumnya devaluasi ditujukan untuk menghilangkan defisit dalam neraca pembayaran. Keadaan ini akan tercapai apabila kondisi-kondisi seperti yang disebutkan di atas telah dipenuhi. Jika  defisit dalam neraca pembayaran dapat dihilangkan dengan adanya devaluasi, maka dampak devaluasi terhadap  pertumbuhan  ekonomi akan  bersifat positif. Sebaliknya jika neraca pembayaran  semakin menjauh dari tingkat ekuilibrium, maka penurunan nilai tukar mata uang tersebut akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka tampak bahwa devaluasi nilai  mata uang akan meningkatkan atau menurunkan  pendapatan nasional suatu negara tergantung pada tiga kondisi pokok,  yaitu: (a) apakah devaluasi dapat memperbaiki neraca perdagangan  atau  sebaliknya, (b) apakah devaluasi  akan memperburuk atau meningkatkan rasio per-dagangan, (c) apakah devaluasi akan  menggerakkan saldo neraca perdagangan  semakin  menjauhi atau mendekati tingkat ekuilibrium.










PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Devaluasi adalah suatu bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada suatu negara untuk secara sepihak menurunkan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lainnya. Kebijakan ini hanya diterapkan pada suatu Negara yang menggunakan system kurs tetap, karena penerapan devaluasi hanya dapat dilakukan dengan adanya intervensi penuh dari pemerintah Negara bersangkutan. System kurs lain tidak dapat menggunakan kebijakan ini karena telah menyerahkan intervensi untuk mengendalikan nilai kurs ke pasar, jadi kuat lemahnya kurs tergantung dari permintaan dan penawaran kurs di pasar.
2.      Kebijakan devaluasi ternyata tidak sebaik yang kita perkirakan selama ini, karena kebijakan ini akan menimbulkan efek yang tidak baik dalam jangka pendek.
·         Menurut Pendekatan Elastisitas yang digambarkan melalui kurva J tindakan devaluasi nantinya berhasil memperbaiki neraca pembayaran, namun perbaikan tersebut memerlukan waktu. Untuk beberapa bulan atau beberapa triwulan pertama, dapat terjadi keadaan neraca pembayaran justru memburuk. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia.
·         Menurut pendekatan absorpsi kebijakan devaluasi dapat menyebabkan neraca pembayaran menjadi bertambah baik keadaannya ataukah sebaliknya, yaitu memburuk, tergantung pada besamya pengaruh devaluasi tersebut terhadap produk nasional, dan terhadap besamya absorpsi. Apabila :
-          Peningkatan produk nasional > Peningkatan daya absorpsi:   neraca pembayaran keadaannya bertambah baik
-          Peningkatan produk nasional < Peningkatan daya absorpsi:   neraca pembayaran keadaannya bertambah buruk
3.      Devaluasi nilai  mata uang akan meningkatkan atau menurunkan  pendapatan nasional suatu negara tergantung pada tiga kondisi pokok,  yaitu:
(a) apakah devaluasi dapat memperbaiki neraca perdagangan  atau  sebaliknya
(b) apakah devaluasi  akan   memperburuk atau  meningkatkan  rasio per-dagangan
(c) apakah  devaluasi akan  menggerakkan saldo neraca perdagangan  semakin  menjauhi atau mendekati tingkat ekuilibrium

B. SARAN
Kebijakan devaluasi merupakan salah satu bentuk kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah dalam rangka menyeimbangkan neraca pembayaran. Akan tetapi kebijakan ini juga mempunyai sisi negative yang dapat mempengaruhi keadaan neraca pembayaran dan pendapatan nasional. Oleh sebab itu kebijakan devaluasi harus diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan pendukung yang dapat meminimalisir efek negative yang ditimbulkannya. Berikut adalah contoh kebijakan pendukung tersebut:
-          Bidang perdagangan:
Di bidang perdagangan pemerintah dapat menurunkan harga jenis bahan baku dan bahan penolong yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dan telah mengalami kenaikan harga akibat devaluasi.
-          Bidang penanaman modal
Pemerintah mengambil kebijaksanaan tentang penyertaan saham asing dalam perusahaan yang sudah berdiri, antara lain adalah modal asing dimungkinkan memasuki perusahaan yang sudah berjalan dengan jalan menambah atau membeli modal saham perusahaan tersebut.
-          Pemerintah harus dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap rupiah, sehingga pada akhirnya akan memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian secara keseluruhan.
-          Pemerintah dapat mengurangi besarnya pajak ekspor untuk merangsang kenaikkan net ekspor, selain itu pemerintah juga harus memperbaiki birokrasi kepengurusan ekspor-impor yang selama ini masih terlalu berbelit-belit.














DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Bab 12_pola_kebijakan_devisa_negara_berkembang, diakses tanggal 28 Mei 2010
Anonim, 2010, Devaluasi dan Revaluasi : Kebijakan Pemerintah Terhadap Nilai Tukar (Kurs), http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/09/devaluasi-dan-revaluasi-kebijakan.html diakses tanggal 28 Mei 2010.
Anonim, 2010, Nilai Mata Uang (Exchange Rate) : Fakto-Faktor yang Mempengaruhi Nilai, http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/nilai-tukar-mata-uang-faktor-faktor.html diakses tanggal 28 Mei 2010

Caray,2008, Makalah dan Skripsi : Neraca, http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/02/neraca.html diakses tanggal 28 Mei 2010
Hadi Kardoyo dan Mudrajad Kuncoro, 2003, Analisis Kurs Valas Dengan Pendekatan Box-Jenkins: Studi Empiris Rp/US$ dan Rp/Yen, 1983.2-2000.3, Jurnal Ekonomi UGM :2003
Krugman. Paul L. and Maurice Obstfeld, 1996, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijkan (terj.), PT RajaGrafindo Pustaka , Jakarta
Lindert. Peter H. And Charles P Kindleberger, 1990, Ekonomi Internasional (Terj.) Erlangga, Jakarta
Madura, Jeff (2003), “International Financial Management,” Thomson South-Western, Seventh Edition.
Putra, 2009, Perkembangan Kebijakan Sistem Nilai Tukar di Indonesia, http://putracenter.wordpress.com/2009/09/23/perkembangan-kebijakan-sistem-nilai-tukar-di-indonesia/ diakses tanggal 28 Mei 2010
Salvatore. Dominick, 1997, Ekonomi Internasional,Erlangga, Jakarta.
Setiawan,2010, Sistem Moneter Internasional, http:// datakuliah.blogspot.com /2009/11/ sistem-moneter-internasional.html diakses tanggal 28 Mei 2010

1 komentar: