Rabu, 15 Desember 2010

Kebijakan Target Inflasi dan Implementasinya di Indonesia


PENDAHULUAN

            Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka perkembangan jumlah uang beredar, yaitu M1 dan M2, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas, Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur surut.
 Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan ruang gerak bagi Bank Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong penurunan suku bunga domestik. Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama. Suku bunga kredit (kredit modal kerja) pun mengalami penurunan meskipun tidak secepat dan sebesar penurunan suku bunga simpanan perbankan. Penurunan laju inflasi, penguatan nilai tukar rupiah, dan penurunan suku bunga membentuk suatu lingkaran yang saling memperkuat (virtuous circle) sehingga membuka peluang bagi pemulihan ekonomi. Tanda-tanda awal kebangkitan ekonomi Indonesia mulai muncul sejak triwulan I 1999 ketika PDB riil dalam triwulan tersebut untuk pertama kalinya sejak 1997 mencatat pertumbuhan triwulanan positif.
Bagi masyarakat secara umum, kestabilan harga merupakan sesuatu yang sangat penting khususnya bagi golongan masyarakat berpendapatan tetap. Inflasi yang tinggi seringkali dikategorikan sebagai musuh masyarakat nomor satu karena dapat menggerogoti daya beli dari pendapatan yang diperoleh masyarakat. Bagi kalangan dunia usaha, inflasi yang tinggi akan sangat menyulitkan kalkulasi perencanaan bisnis dan dengan demikian akan berdampak buruk bagi aktivitas perekonomian dalam jangka panjang. Bagi banyak ekonom, telah terbentuk semacam kesepakatan bahwa inflasi yang tinggi akan berdampak buruk bagi proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Bahkan, penelitian dengan menggunakan panel data dari beberapa negara membuktikan bahwa laju inflasi yang moderat sekalipun dapat berdampak buruk bagi proses pertumbuhan ekonomi.








PEMBAHASAN

1.                  Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah proses dimana bank sentral atau otoritas moneter suatu negara mengontrol jumlah uang beredar, ketersediaan uang, dan biaya uang atau tingkat bunga. Kebijakan moneter biasanya digunakan untuk mencapai serangkaian tujuan berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Tujuan ini biasanya meliputi harga stabil dan pengangguran yang rendah. Teori Moneter memberikan wawasan tentang cara menyusun kebijakan moneter yang optimal.
Dalam rangka mengevaluasi kebijakan stabilisasi pertama-tama perlu untuk memastikan hubungan perilaku dan struktur ekonomi dimana kebijakan tersebut harus diperkenalkan. Karena ini sangat sulit praktek biasa adalah untuk menjelaskan suatu sistem yang disederhanakan, dengan mudah menerima analisis, dan mempertimbangkan dampak alternatif kebijakan dalam kerangka tersebut. Idealnya sistem seperti ini harus mampu mempertimbangkan secara eksplisit sejumlah pertanyaan penting bagi efektivitas kebijakan moneter yaitu kecepatan penyesuaian pemegang aset dan aset emiten perubahan saat ini di variabel keuangan, dinamika kesalingterkaitan antara pasar yang  berbeda, besarnya stokastik gangguan yang tidak dapat diramalkan sebelumnya, tingkat ketidakpastian yang dihadapi para pembuat kebijakan dengan informasi tunggal dan tidak lengkap, dan efektivitas relatif dari berbagai instrumen pengendalian moneter.
Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.   Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Kebijakan moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar dalam masyarakat.
2.   Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Kebijakan ini disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain:
a.                  Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
b.                  Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
            Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
c.                    Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
            Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
d.                   Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.


2.                  Latar Belakang Digunakannya Kebijakan Moneter dalam Pembangunan
Kebijakan moneter merupakan salah satu kebijakan yang dipergunakan dalam menstabilkan keadaan perekonomian suatu negara. Pengambilan kebijakan moneter yang cepat dan tepat ditujukan agar perekonomian tidak akan mengalami guncangan dan dapat tumbuh sesuai dengan yang diharapkan. Dengan berputarnya roda perekonomian dengan baik, maka diharapkan tingkat pembangunan dalam negara yang bersangkutan dapat berkembang dengan baik. Berikut akan dijelaskan secara rinci latar belakang diperlukannya kebijakan moneter di dalam pembangunan suatu negara:
a.                   Secara teoritis maupun empiris, dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh pada inflasi. Dalam jangka pendek, kebijakan moneter yang ekspansif memang dapat digunakan untuk memberikan stimulus pada perekonomian, terutama jika kebijakan moneter tidak diantisipasi oleh pelaku pasar. Namun, dalam jangka panjang, ketika kebijakan moneter tersebut telah dirasakan oleh masyarakat melalui kenaikan inflasi, yang terjadi adalah ekspektasi inflasi masyarakat semakin meningkat dan pertumbuhan ekonomi bahkan mengalami penurunan. Dalam istilah Friedman, “There is no long-run tradeoff between inflation and unemployment”. 
b.                  Kebijakan moneter yang secara aktif digunakan untuk mendorong pertumbuhan seringkali justru berdampak pada ketidakstabilan. Argumen ini didasarkan pada kenyataan bahwa dampak kebijakan moneter kepada perekonomian riil memerlukan waktu yang cukup lama (adanya time lag) dan time lag ini selalu berubah dari waktu ke waktu dengan ketidakpastian yang tinggi (long and variable lag). Ketidakstabilan ini semakin meningkat terutama ketika bank sentral tidak independen dari pengaruh politisi yang seringkali  kurang sabar melihat hasil dari suatu kebijakan. Bank sentral yang tidak independen seringkali diintervensi untuk melakukan kebijakan yang lebih populer melalui penurunan suku bunga untuk mengatasi pengangguran. Jika hal ini dilakukan pada saat inflasi ke depan sedang menunjukkan kecenderungan meningkat, yang terjadi kemudian adalah ekonomi menjadi overheating sehingga menyebabkan akselerasi inflasi atau  policy reversal  dengan menaikkan kembali suku bunga yang justru menambah  ketidakstabilan makroekonomi.  
c.                   Kebijakan moneter tanpa tujuan yang jelas pada kestabilan harga seringkali menjadi tidak kredibel. Tanpa tujuan yang jelas, bank sentral yang semula mempunyai komitmen untuk mengendalikan inflasi pada tingkat tertentu, seringkali tergoda untuk melakukan kebijakan moneter yang populer di mata masyarakat dengan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi berdampak inflasi di atas level yang sudah dijanjikan oleh bank sentral dan ekspektasi masyarakat. Time-inconsistent policy ini mengakibatkan bank sentral tidak kredibel di mata masyarakat sebagai pengendali inflasi. Hilangnya kredibilitas ini mendorong masyarakat membuat ekspektasi inflasi sendiri yang lebih tinggi dari yang sudah dijanjikan oleh bank sentral. Jika hal ini terjadi, sulit bagi bank sentral mengendalikan ekspektasi inflasi.   

3.                  Strategi Kebijakan Moneter yang Optimal Salah Satunya dengan Menggunakan Inflation Targeting
            Inflation targeting adalah sebuah kerangka kebijakan moneter yang dicirikan paling tidak oleh tiga hal.  Pertama, kebijakan moneter diarahkan secara eksplisit pada pencapaian  target inflasi yang diumumkan secara eksplisit kepada publik.  Kedua, dalam framework ini, kebijakan moneter dilakukan dengan merespon perkembangan inflasi ke depan (forward looking).  Ketiga, kebijakan moneter dilakukan secara  transaparan dengan akuntabilitas yang terukur. Inflation targeting mendorong peningkatan “good governance” dari sebuah bank sentral, terutama dengan adanya elemen transparansi dan akuntabilitas.
            Inflation targeting yang disertai transparansi memberikan kontribusi yang positif bagi pencapaian stabilitas harga pada khususnya dan perekonomian maupun pasar keuangan pada umumnya. Pertama, dengan keterbukaan dan transparansi menciptakan insentif bagi bank sentral untuk secara berhati-hati menetapkan target inflasi dan mengoptimalkan seluruh upaya dan  respon kebijakan moneter untuk mencapai target tersebut. Kedua, transparansi kebijakan moneter dapat mengurangi volatilitas pasar sehingga mengurangi biaya inflasi pada perekonomian.
            Implikasinya adalah dengan diumumkannya target inflasi kepada publik akan mengurangi ketidakpastian ekspektasi inflasi ke depan.  Ketidakpastian tentang arah kebijakan bank sentral juga seringkali menciptakan volatilitas di pasar keuangan. Biaya ekonomi yang ditimbulkan oleh inflasi seringkali bersumber dari volatilitas atau ketidakpastian inflasi daripada disebabkan oleh tingkat inflasi itu sendiri. Dengan berkurangnya ketidakpastian berarti berkurangnya biaya yang ditimbulkan oleh inflasi. Ketiga, inflation targeting dengan transparansi kebijakan membantu membangun kredibilitas bank sentral dalam kebijakan moneter melalui komitmen pencapaian target inflasi.  Kredibilitas ini sangat diperlukan bagi bank sentral karena mempengaruhi publik dalam membuat ekspektasi inflasi. Pasca IMF, membangun kredibilitas kebijakan moneter ini menjadi lebih penting, mengingat selama ini IMF secara rutin memonitor kebijakan moneter sehingga mendorong kebijakan moneter dilakukan secara disiplin. Dengan diumumkannya target inflasi dan kebijakan moneter yang akan dilakukan, bank sentral terdorong untuk disiplin. Dengan meningkatnya kredibilitas akan mempermudah kebijakan moneter mempengaruhi ekspektasi inflasi sehingga tujuan stabilitas harga lebih mudah dicapai dengan biaya yang lebih murah.
            Ciri khusus ITF yakni pernyataan resmi (dan dikuatkan dalam UU) bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah inflasi yang rendah dan stabil. Penetapan dan pengumuman target inflasi dalam jangka menengah-panjang dan adanya elemen independensi, komitmen, komunikasi, disiplin dan mekanisme akuntabilitas kebijakan moneter.
Alasan pemilihan ITF meliputi pertama, Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound), Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter. Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output, dan dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target. Kedua, Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation). Ketiga, Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.
            Adapun sasaran Inflasi  antara lain pertama, Sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Penetapan sasaran inflasi tersebut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (trade-off) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2008, 2009, dan 2010 sebesar 5±1%, 4.5±1%, dan 4±1%.




4.                  Implementasi Strategi ITF ( Inflation Targeting Framework )
Penerapan strategi penargetan inflasi membutuhkan beberapa keputusan, karena pemilihan target inflasi tidak terlepas dari masalah rentang waktu (time lag). Adapun implementasi tersebut diantaranya :
·               Sebagai aturan umum, untuk transparansi maksimum, ukuran luas paling relevan untuk perhitungan pendapatan riil untuk  rumah tangga dan kesejahteraan rumah tangga pada akhirnya menjadi tujuan kebijakan moneter. Namun, untuk memastikan bahwa  kebijakan moneter tidak bereaksi terhadap fluktuasi acak dan bersifat sementara, indeks harus dikecualikan pada  setidaknya putaran pertama dampak perubahan harga komponen volatil dan harga yang  tidak akan mempengaruhi trend utama dalam inflasi. Dalam membuat pilihan seperti indeks inflasi, Bank Sentral harus memastikan bahwa masyarakat memahami kebijakan yang diambil dan tidak mendapatkan kesan bahwa bank sentral telah memilih indeks ini menjadi salah satu indeks alternatif dalam rangka menjamin keberhasilan penargetan tersebut.
·               Sebagai contoh, saat ini sasaran inflasi di Meksiko ditetapkan dengan cara yang asimetris. Pendekatan ini berguna dalam transisi dari tingkat inflasi yang tinggi ke tingkat inflasi yang moderat. Dalam hal ini bank sentral memilih untuk mengumumkan kisaran target inflasi yang akan dicapai untuk memberikan kestabilan terhadap perekonomian.
·               Target Inflasi dapat diatur untuk satu atau lebih dari setahun. Dalam prakteknya, target kurang dari satu tahun atau lebih dari lima tahun tampaknya tidak akan berpengaruh dikarenakan adanya perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inflasi setiap tahunnya. Dalam membuat pilihan target inflasi, bank sentral harus mempertimbangkan implikasi definisi indeks harga yang ditargetkan secara spesifik. Di satu sisi, stabilitas harga membawa manfaat yang besar bagi Inflasi. Bahkan pada tingkat yang moderat, menciptakan distorsi ekonomi signifikan yang selanjutnya akan menciptakan peningkatan efisiensi dalam perekonomian. Di Meksiko, masalah inflasi yang tinggi diperparah dengan akses ke bank yang masih terbatas untuk penduduk.
·               Selain itu juga sangatlah penting untuk membangun kredibilitas, peran strategi penargetan inflasi harus tidak berlebihan setidaknya untuk dua alasan. Pertama, akan sulit untuk mencapai semua keberhasilan, dengan menurunkan atau mempertahankan inflasi yang rendah di suatu negara. Seringkali, perubahan dalam strategi yang disertai dengan perubahan yang lebih mendasar pada kerangka kerja kelembagaan untuk kebijakan moneter dalam hal peningkatan transparansi, independensi dan akuntabilitas. Kedua, harus diingat bahwa pada akhirnya kredibilitas adalah faktor yang penting dalam menentukan kinerja bank sentral dalam mengontrol kestabilan inflasi ( inflasi yang rendah).

5.                  Kebijakan Moneter yang Optimal dalam Rezim Inflasi
Sifat teoritis dari penargetan inflasi cukup dipahami dengan baik, akan tetapi masih banyak masalah yang belum terpecahkan dalam penerapannya. Salah satu isu operasional yang penting bagi penargetan inflasi adalah kekhawatiran bank sentral mengenai indeks harga digunakan sebagai variabel target. Di satu sisi, ada kesepakatan luas bahwa bank sentral harus berkonsentrasi pada indeks luas stabilisasi harga, seperti indeks harga konsumen (IHK).
Sampai saat ini masih terdapat banyak perbedaan antara bank sentral di sebuah negara dengan bank sentral di negara lain dalam hal menentukan indeks harga yang digunakan sebagai target. Misalnya, Sveriges Riksbank (bank sentral Swedia) merumuskan target dalam hal inflasi IHK, seperti halnya Bank of Canada. Bank sentral Australia baru-baru ini justru memilih untuk mengecualikan komponen volatil tertentu dari IHK, seperti makanan dan energi, pajak tidak langsung dan biaya hipotek rumah, untuk berkonsentrasi pada tingkat dasar inflasi. Bank lainnya, misalnya Bank of England dan Bank Sentral Selandia Baru (sebelum 1999), telah memilih strategi menengah yaitu penargetan inflasi IHK eksklusif pada suku bunga (disebut sebagai RPIX di Inggris dan CPIX di Selandia Baru).


Beberapa komponen yang berbeda dari 'inflasi IHK' dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a.                   Tingkat inflasi inti, yang terkait dengan tingkat aktivitas riil dalam perekonomian dan yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter.
b.                  Gangguan inflasi murni eksogen (misalnya, perubahan imported inflation) yang tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter.
c.                   Gangguan eksogen lain (misalnya, perubahan pajak tidak langsung dan subsidi) yang mempengaruhi inflasi IHK dan permintaan agregat dalam arah berlawanan.
d.                  Dampak langsung kebijakan moneter pada IHK melalui biaya hipotek rumah.

Dengan keempat komponen tersebut, dapat dibedakan tiga sasaran dasar yaitu: inflasi inti (hanya komponen pertama), inflasi IHK (semua empat komponen), dan ukuran menengah (inflasi CPIX), yang didefinisikan sebagai inflasi IHK tidak termasuk komponen bunga. Pengertian ini akan dijadikan dasar untuk menganalisis bagaimana kebijakan moneter yang optimal dipengaruhi oleh pilihan ukuran inflasi dalam fungsi tujuan bank sentral.













Gambar 1 : Diagram Pembagian Macam-Macam Inflasi
a.                   Inflasi IHK
            Inflasi IHK adalah salah satu bentuk pengukuran tingkat inflasi yang memasukkan semua komponen yang telah disebutkan di atas. Selain inflasi IHK sebenarnya inflasi mempunyai beberapa pengukuran, termasuk di antaranya adalah inflasi Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), dan inflasi  Pendapatan Domestik Bruto (PDB) deflator. Namun demikian, indikator yang paling umum digunakan dalam pengukuran inflasi adalah inflasi IHK karena inflasi IHK-lah yang mencerminkan perubahan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat luas. Dalam kehidupan sehari-hari, inflasi IHK-lah yang secara langsung mempengaruhi keputusan bisnis dan konsumen. Dengan demikian, umumnya masyarakat melihat tugas BI mengendalikan inflasi identik dengan pengendalian inflasi IHK.
Meskipun telah tertanam di benak masyarakat luas bahwa BI melalui kebijakan moneter (seperti penentuan target suku bunga) seharusnya dapat mengendalikan inflasi IHK, pada kenyataannya banyak faktor yang mengakibatkan inflasi IHK di luar kendali kebijakan moneter. Hanya komponen-komponen tertentu dari inflasi IHK yang berada dalam kendali otoritas moneter. Untuk itu, sebagaimana juga yang dilakukan oleh otoritas moneter di banyak negara lain, BI telah berusaha memilah-milah komponen inflasi IHK ke dalam kelompok yang dapat dan tidak dapat dikendalikan melalui kebijakan moneter.
Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
i)    Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti: Interaksi permintaan – penawaran, Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang, Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
ii)   Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti  terdiri dari : Pertama, Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) : Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional. Kedua, Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) : Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.









Tabel Perkembangan Inflasi IHK
Bulan Tahun
Tingkat Inflasi
Januari 2010
3.72%
Desember 2009
2.78%
Nov-09
2.41%
Oktober 2009
2.57%
Sep-09
2.83%
Agustus 2009
2.75%
Juli 2009
2.71%
Juni 2009
3.65%
Mei 2009
6.04%
Apr-09
7.31%
Maret 2009
7.92%
Februari 2009
8.60%
Januari 2009
9.17%
Desember 2008
11.06%
Nov-08
11.68%
Oktober 2008
11.77%
Sep-08
12.14%
Agustus 2008
11.85%
Juli 2008
11.90%
Juni 2008
11.03%
Sumber: Bank Sentral Republik Indonesia
b.                  Inflasi Inti
Inflasi inti pada dasarnya merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan bahan makanan yang harganya sangat berfluktuasi (volatile foods), dan barang-barang yang harganya banyak ditentukan pemerintah (administered goods). Volatile foods termasuk di antaranya beras, cabe, dan hasil-hasil pertanian lainnya, sementara itu administered goods termasuk diantaranya Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik.
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 1, inflasi inti dapat lebih tinggi ataupun lebih rendah dari inflasi IHK, tergantung pada kenaikan harga  volatile foods dan administered goods. Sebagai contoh, pada tahun 2003 karena terjadinya penurunan harga volatile foods yang cukup besar, inflasi IHK cukup jauh berada di bawah inflasi inti. Sementara itu, dengan kenaikan harga BBM yang rata-rata di atas 100%, pada tahun 2005 inflasi IHK hampir dua kali lipat dari inflasi inti. Dalam kondisi tertentu, besarnya inflasi IHK dapat juga sama dengan ataupun mendekati inflasi IHK, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2004.
Harga volitile foods dapat sangat berfluktuasi karena ketergantungan pasokannya yang sangat tinggi terhadap keadaan cuaca, musim, gangguan hama, dan distribusi. Sementara itu, harga administered goods seperti BBM dan listrik banyak ditentukan oleh pemerintah sehingga kenaikan harga barang-barang tersebut cenderung bersifat sesaat. Dengan demikian, karena perubahan harga  volatile foods dan administered goods lebih bersumber dari sisi pasokan dan cenderung bersifat sesaat, inflasi yang ditimbulkan oleh kedua kelompok barang tersebut jelas di luar kendali BI.
Bahwasanya kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi inflasi inti telah banyak ditunjukkan dalam model-model ekonomi, baik secara teoritis maupun secara empiris. Tanpa fluktuasi dari harga volatile foods dan  administered goods, inflasi inti dapat dilihat sebagai inflasi yang berasal dari kebijakan moneter. Hasil penelitian di BI juga menunjukkan bahwa di Indonesia, dibandingkan dengan inflasi IHK, inflasi inti lebih dapat dikontrol dengan kebijakan moneter. Hal ini sangat beralasan karena jika harga volatile foods lebih ditentukan oleh gangguan terhadap pasokan, sementara harga administered goods ditentukan oleh pemerintah, maka kestabilan harga yang diukur dengan inflasi intilah yang berada dalam kendali BI.
Tentu saja, meskipun BI memfokuskan pada pengendalian inflasi inti, bukan berarti inflasi IHK diabaikan. BI tetap mengikuti perkembangan inflasi IHK dan menggunakannya dalam perumusan kebijakan moneter. Jika melalui inflasi inti, BI akan mengetahui kecenderungan inflasi yang bersifat jangka menengah dan panjang, maka melalui inflasi IHK, BI akan memperoleh informasi mengenai inflasi jangka pendek. Karena inflasi inti dapat juga dipengaruhi oleh kenaikan harga volatile foods dan administered goods melalui efek lanjutan (second round effects), perkembangan inflasi IHK yang lebih bersifat jangka pendek dapat memberikan gambaran terhadap perkembangan inflasi inti. 

Grafik 1. Inflasi Inti dan Inflasi IHK

c.                   Inflasi ukuran menengah (inflasi CPIX)
Pada dasarnya inflasi ukuran menengah merupakan bagian dari inflasi IHK, akan tetapi tidak memasukkan unsur komponen bunga. Inflasi ini jarang digunakan sebagai target sasaran, hanya beberapa bank sentral di negara-negara tertentu saja yang menggunakan inflasi ini. Sebagai contoh adalah Bank of England dan Bank Sentral Selandia Baru (sebelum 1999) yang telah memilih strategi menengah yaitu penargetan inflasi IHK eksklusif pada suku bunga (disebut sebagai RPIX di Inggris dan CPIX di Selandia Baru).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui kebijakan moneter yang optimal dalam tiga rezim inflasi yang berbeda yaitu penargetan inflasi IHK, penargetan inflasi inti dan penargetan inflasi ukuran menengah (CPIX). Hasil respon yang optimal untuk gangguan inflasi 'murni eksogen' (seperti imported inflation) dapat diatasi sebagai berikut: Jika gangguan ini memiliki efek sementara saja, respon yang optimal adalah dengan tidak mengubah tingkat suku bunga. Jika gangguan memiliki efek yang terus-menerus, sedangkan suatu negara menggunakan sasaran inflasi inti, maka kebijakan moneter tidak perlu menanggapi, sementara apabila suatu negara menggunakan sasaran inflasi IHK atau CPIX maka kebijakan moneter harus mengimbangi efek jangka panjang dari gangguan eksogen tersebut. Jika, pada gilirannya, gangguan eksogen juga memiliki efek tidak langsung pada inflasi (contoh karena kenaikan pajak tidak langsung yang tidak hanya menambah inflasi, tetapi juga menekan permintaan agregat), kebijakan moneter dalam semua rezim harus bertindak untuk meningkatkan permintaan.

6.                  Kebijakan Moneter untuk Stabilisasi Perekonomian dalam Masa Transisi
-                                                                      Penghapusan Penyimpangan Moneter
Pada tahap awal transisi, tugas utama dari kebijakan moneter adalah menghindari (atau memerangi) suatu hiperinflasi yang ada. Untuk mencapai tujuan ini, otoritas moneter dapat menggunakan tiga instrumen yang berbeda yaitu liberalisasi secara bertahap untuk harga dalam negeri, kebijakan moneter ketat, dan reformasi mata uang. Pilihan kebijakan ini digambarkan dalam Gambar 2.







Gambar 2 : Penghapusan Penyimpangan Moneter
                                                 Sumber:  Sell, 1995, hal 278
Penyimpangan moneter didefinisikan oleh perbedaan antara jumlah uang beredar dan permintaan pada tingkat harga tertentu. Penghapusan penyimpangan moneter (M°) oleh inflasi terbuka akan meningkatkan permintaan uang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Namun, hal itu mengandung risiko koefisien kas (k) tenggelam yang mendorong peningkatan tambahan harga keseimbangan dan pasar uang baru di D (bukan C dengan k konstan). Sebuah peningkatan dalam perputaran uang adalah karakteristik khusus dari hiperinflasi yang hanya dapat dihindari oleh liberalisasi bertahap untuk harga dalam negeri. Namun, kebijakan seperti itu akan berlawanan untuk menetapkan mekanisme alokasi baru dan meningkatkan ketidakpastian tentang struktur jangka panjang harga-harga relatif. Sebuah kebijakan moneter kontraktif mengurangi penyimpangan moneter, sehingga titik B idealnya akan mewakili keseimbangan baru. Namun, realisasi yang sangat konsekuen pun dari strategi tidak bisa menghindari lonjakan harga awal. Transisi dari titik A ke titik B tidak akan berbentuk bujursangkar tetapi membuat jalan memutar melalui titik-titik C atau D.
Solusi yang paling menarik untuk masalah penyimpangan moneter adalah dengan cara melakukan reformasi mata uang. Ini akan menghindari hiperinflasi dan semua kebijakan moneter yang terlalu ketat. Keseimbangan baru akan terbentuk di manapun pada fungsi asli dari permintaan uang (Md = kPy).
-                      Kredibilitas dan Volatilitas Tingkat Inflasi
Stabilitas dari mata uang baru harus menjadi sasaran yang paling penting dari kebijakan moneter. Terdapat dua aspek penting dalam stabilitas ekonomi dan politik di negara transisi, aspek tersebut meliputi volatilitas nilai tukar riil dan kredibilitas target nilai tukar. Untuk stabilisasi moneter, strategi empat fase mungkin telah dapat diandalkan. Awalnya sebelum liberalisasi harga dalam negeri, pengaturan kelembagaan dasar harus dilakukan. Hal ini termasuk reformasi mata uang, membelah monobank ke bank sentral dan beberapa bank komersial, menerapkan metode pengawasan perbankan yang efisien dan mengeluarkan undang-undang kepailitan yang ketat. Selama periode tersebut, liberalisasi internal dan eksternal yang luas, kurs nominal yang fleksibel serta inflasi yang moderat bisa mengurangi biaya penyesuaian. Hanya setelah harga relatif dalam negeri disesuaikan dengan pasar dunia, suatu negara akan dapat menerapkan mata uang yang relatif stabil. Peredaran uang domestik harus sepenuhnya didukung oleh referensi mata uang asing. Jika perlu, IMF harus menyediakan bantuan keuangan dalam bentuk dana stabilisasi.
-                      Stabilisasi Moneter di Negara Visegrád
Untuk memperjelas pemahaman maka dalam penelitian ini akan diambil contoh stabilisasi moneter di negara-negara Visegrad, yang meliputi Polandia, Cekoslovakia dan Hungaria. Polandia sendiri melakukan liberalisasi yang besar pada tingkat harga dalam negeri mulai tanggal 1 Januari 1990, sedangkan Cekoslovakia mengikuti langkah Polandia satu tahun kemudian. Pada tahun 1968, Hungaria sudah memulai deregulasi bertahap ekonominya, dimulai dengan keunggulan substansial atas semua negara CEE lain dalam transisi ke 1990-an.

TABLE
Monetary Stabilization in the Visegrad-Countries

1991
1992
1993
1994
1995
1996
Poland






Inflation (In Percent)
70.0
43.0
35.0
33.0
28.0
20.0
Seignorage (Percentage of GDP)
3.0
3.4
0.7
1.7
3.1
n/d
Nominal Exchange Rate** (Z1/US$)
1.10
1.58
2.13
2.44
2.47
2.86
Czech Republic






Inflation (In Percent)
57.0
11.0
21.0
10.0
9.0
9.0
Seignorage* (Percentage of GDP)
n/d***
n/d***
n/d
13.0
2.2
1.4
Nominal Exchange Rate** (Kr/US$)
29***
28**
30
28
27
27
Slovak Republic






Inflation (In Percent)
61.0
10.0
23.0
13.0
10.0
6.0
Seignorage* (Percentage of GDP)
n/d***
n/d***
n/d
2.1
5.4
1.1
Nominal Exchange Rate** (Kr/US$)
29***
28***
33
31
30
32
Hungary






Inflation (In Percent)
35.0
23.0
23.0
19.0
28.0
24.0
Seignorage* (Percentage of GDP)
11.0
3.0
3.7
3.4
6.2
n/d
Nominal Exchange Rate** (Ft/USS)
76
84
101
111
139
165
Catatan: * menunjukkan perubahan uang inti / GDP nominal, ** menunjukkan akhir tahun, *** menunjukkan data dibagi antara Republik Ceko dan Slovakia, n / d menunjukkan tidak ada data yang tersedia. US $ menunjukkan dolar AS, Kr melambangkan krone Ceko, dan Ft melambangkan Forint Hungaria.
Sumber: Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan [1997) dan Dana Moneter Internasional [International Financial Statistik, berbagai masalah].
Tabel di atas menggambarkan evolusi dari beberapa indeks moneter dari empat negara. Negara Polandia menggabungkan liberalisasi yang besar pada harga dalam negeri dan penyimpangan moneter yang besar sehingga menyebabkan lompatan harga 77,3 persen pada Januari 1990. Berkat kebijakan moneter sangat terbatas, tingkat inflasi menurun dari 555 persen per tahun pada tahun 1990 menjadi 70 persen per tahun pada tahun 1991. Cekoslovakia berhasil menghindari hiperinflasi karena penyimpangan moneter pada saat liberalisasi harga jauh lebih sedikit daripada di Polandia. Mata uang Slovakia disusutkan sebesar 10 persen pada tahun 1993 dan, hal ini memungkinkan adanya fluktuasi dalam jarak ± 5 persen. Karena strategi liberalisasi bertahap, Hungaria selalu menunjukkan tingkat inflasi yang moderat. Tidak seperti tetangganya Eropa Timur, yang menolak devaluasi mata uangnya secara drastis pada awal proses transisi. Berdasarkan tabel dan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa semua negara Visegrád harus mempertimbangkan untuk menerapkan suatu dewan mata uang.





















KESIMPULAN

1.         Kebijakan moneter merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dipergunakan pemerintah untuk menjaga kestabilan perekonomian. Karena bukan hanya satu-satunya bentuk kebijakan yang digunakan pemeritah, dalam penerapannya kebijakan moneter harus berkoordinasi dengan kebijakan pemerintah yang lain. Misalnya dalam keadaan jumlah uang yang beredar didalam masyarakat terlalu banyak maka kebijakan moneter akan mengambil tindakan mengurangi JUB di dalam masyarakat dengan cara meninggikan tingkat suku bunga. Apabila hal ini tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan kebijakan fiskal maka akan terjadi benturan kebijakan. Karena seperti yang kita ketahui dengan dinaikkannya tingkat suku bunga maka jumlah investasi didalam masyarakat akan menurun sehingga roda perekonomian riil akan mengalami masalah.
2.         Penerapan kebijakan moneter tidak terlepas dari masalah time lag . sehingga pembuat kebijakan moneter harus memperhitungkan keadaan perekonomian dimasa yang akan datang. Hal ini ditujukan agar kebijakn yang diambil tersebut dapat berpengaruh secara optimal terhadap perekonomian.
3.         Di Indonesia Strategi kebijakan moneter yang optimal salah satunya dengan menggunakan Inflation targeting. Inflation targeting yang disertai transparansi memberikan kontribusi yang positif bagi pencapaian stabilitas harga pada khususnya dan perekonomian maupun pasar keuangan pada umumnya. Akan tetapi pelaksanaan ITF di Indonesia dirasa belum maksimal, hal ini karena tingkat independensi bank sentral yang masih dipertanyakan.  







DAFTAR PUSAKA

Inflation Stabilization and Welfare. Vol. 2 [2002], No. 1, Article 1
Jochem, Axel.1999.Monetary Stabilization in Countries in Transtition. IAER:February 1999 Vol.5 No.1
Nessen, Marianne and Ulf Soderstrom.2001. Core Inflation and Monetary Policy. International Finance 4:3, 2001: pp. 401–439
Nolan, Charles.2002.Monetary Stabilitation Policy in a Monetary Union:Some Simple Analytics.Scottish Journal of Polytical Economy Vol.49 No.2 Mei 2002
Warjiyo, Perry.2004.Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta. PPSK Bank Indonesia
Wikipedia. Kebijakan Moneter. Online [accessed on Mei 2010]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter